Hai,
namaku Lala. Aku tidak tahu mengapa orang tuaku memberi nama Lala. Temanku
sering mengejek dan bernyanyi “Lalala lalalala lalala lalalalalala….” Tapi aku
sama sekali tidak merasa tersinggung, aku malah bahagia. Sekarang ini aku sudah
kelas 2 SMP. Aku menikmati masa-masa bermainku bersama teman-teman sebelum aku
benar-benar fokus UN di kelas tiga.
“Lalala..
Sedang apa kamu? Sendirian saja nih. Lagi merenungkan nasib ya!!” sapa teman
dekatku. Namanya Risa. Risa adalah anak tomboy di sekolahku. Tapi dia sangat
baik padaku, dan aku menyayanginya.
“Merenungkan
nasib yang seperti apa maksudmu?” tanyaku heran dengan pertanyaannya yang
menurutku menyimpang itu.
“Ya apa
lagi kalau bukan karena jomblo. Haha” Risa berlari menuju kelas, dan aku segera
menyusulnya.
“Hei.
Bukannya sejak dulu aku jomblo ya.. tidak usah heran dong”. Risa berhenti dan
menatapku dengan serius.
“Ada
apa sih.. Kamu serius banget.” Tanyaku penasaran.
“Ketipuu…
Larii...” Risa berteriak dan lari ke kamar mandi. Aku tidak mau mengejarnya, tentu
saja karena aku tidak ingin ke kamar mandi.
BRUKK…
Ups,
aku menabrak seseorang. Bukunya berjatuhan, kertasnya berhamburan. Kutatap
wajahnya. Ehm.. Sepertinya aku belum pernah melihatnya. Tapi dia cantik sekali,
aku jadi ingin berkenalan dengannya.
“Eh..
Maaf ya, aku tidak sengaja. Oh iya, sepertinya aku belum pernah malihatmu.
Apakah kamu murid baru?” Aku membantu gadis cantik itu mengumpulkan buku-buku
dan kertasnya yang berserakan.
“Tidak
apa-apa. Aku bukan murid baru, mungkin aku terlalu kuper sehingga orang-orang tidak mengenalku. Tapi tak apa,
sungguh.” Sepertinya dia malu mengatakan itu. Tapi aku benar-benar belum pernah
melihatnya.
“Oh,
maafkan aku. Namaku Lala” Kataku sambil menyodorkan tangan, mengajaknya
bersalaman.
“Cika.”
Katanya singkat. Kemudian Cika berdiri dan berkata, “Maaf, aku buru-buru.
Terimakasih telah membantuku.” Kemudian Cika berjalan cepat dan menghilang di
belokan koridor.
“Sepertinya
dia orang yang menyenangkan. Hanya saja dia terlalu menutup diri.” Gumamku.
“LALAA….”
Teriakan itu, sudah dapat dipastikan pemiliknya. Pasti Risa.
“Hei,
diam. Kamu ini memalukan aku saja.” Aku segera menarik Risa ke dalam kelas. Aku
menikmati pembelajaran Bahasa Inggris, karena aku ingin pergi ke Inggris. Dan
pastinya harus lancar ber-Bahasa Inggris terlebih dahulu.
“Lala,
kamu mau pulang denganku tidak?” Tanya Guntur. Guntur adalah temanku, yang kata
teman-temanku suka padaku. Tapi aku tak punya perasaan apa pun dengannya.
“Aku
dan Risa akan pergi ke suatu tempat terlebih dahulu. Iya kan Ris?” Tanyaku pada
Risa. Kemudian aku menarik Risa keluar sebelum dia berkata yang tidak-tidak.
“Kenapa
sih La? Kamu kan bisa pulang dengannya. Dan lagi, kita tidak akan kemana-mana
kok” Risa bersandar di kursi yang ada di bawah pohon.
“Aku
berencana mengajak kamu ke toko buku. Ayo” Aku dan Risa berjalan meninggalkan
sekolah. Aku dan Risa sudah berteman sejak kecil, karena rumah kami
bersebelahan.
“Eh,
Cika.” Sapaku ketika melihat wajah cantik itu.
“Hai,”
Sapanya malu-malu.
“Siapa
dia? Sepertinya aku belum pernah mellihatnya. Tapi seragamnya sama dengan
kita.” Bisik Risa padaku.
“Risa,
ini Cika. Cika, ini Risa.” Cika dan Risa pun bersalaman. “Cika, kamu ngapain
disini?” Tanyaku dengan polos.
“Ya
beli buku lah.. Lala Lala.” Jawaban Risa membuatku malu, dan membuat kami
tertawa.
***
Ketika
aku sampai di rumah, sepertinya sedang ada banyak tamu. Terlihat banyak mobil
dan motor yang parkir di depan rumahku. Aku jadi teringat sesuatu. Kemudian aku
lari ke dalam rumah. Dan benar saja, di sana sedang berkumpul keluarga besarku.
Wah, menyenangkan sekali.
“Kak
Lala pulang. Oleh-oleh buat Kak Lala.” Adik sepupuku yang sangat menggemaskan
itu memberiku sebuah bungkusan.
“Wah..
Terima kasih dek Bella.” Aku mengusap rambutnya yang dipotong cepak itu. Aku
segera bersalaman dengan seluruh keluarga besarku dan mengganti pakaian. Tanpa
kusadari, di sana, di antara keluarga besarku terdapat gadis cantik yang pernah
kutemui. Ya, dia Cika. Ketika aku menyadari ada Cika di sana, aku segera masuk
ke dalam kamar dan tidak keluar lagi sampai keluarga besarku pulang.
“Aku
sangat malu. Aku tidak tahu bahwa dia adalah saudaraku, bahkan aku tidak
mengenalnya.” Aku menelepon Risa dan cerita kepadanya. Aku bingung, aku sedih.
“Sudahlah,
tidak apa-apa La. Aku yakin Cika mengerti.” Kata Risa menenangkan aku. Aku
bingung dengan kata-kata Risa. Mengerti akan hal apa? Tapi aku segera
melupakannya dan tidur.
“Hai
Lala.” Suara itu seperti tidak asing di telingaku. Suara yang sangat lembut dan menyenangkan.
Ketika kutengok..
“Cika.
Hai” Sekarang aku yang merasa malu padanya.
“Kenapa
kemarin kamu mengurung diri di kamar? Kan Bella ingin bermain denganmu.” Dia
tidak seperti sedang mengejekku.
“Aku
malu padamu Cika. Aku tidak tahu kamu saudaraku. Bahkan aku tidak tahu kamu satu sekolah denganku. Maaf.” Aku merasa mungkin mukaku terlihat seperti kepiting rebus.
“Sudahlah,
tidak apa-apa.. Saudaraku, hehe” Kali ini dia pasti sedang mengerjaiku. Aku
yakin itu. Tapi ini menyenangkan sekali. Kenapa aku berpikir demikian? Karena
aku adalah anak tunggal.
“Aku
senang kamu menjadi saudaraku. Bagaimana kalau kunjungan ke rumah saudara
sepulang sekolah?” Aku dan Cika pun berjalan beriringan menuju kelas.